Jika Bumi Bisa Bicara: Aku Menangis Karena Ulah Manusia Yang Serakah

Oleh : Abd Rahman Ak
Cianjur, panyairan


Aku adalah bumi yang kau pijak.
Sejak awal penciptaan, aku diberikan padamu sebagai tempat tinggal, tempat hidup, tempat bertumbuh. Aku tak pernah menagih bayaran, tak pernah menuntut imbalan. Aku memberimu air tanpa pamrih, udara tanpa syarat, makanan tanpa perhitungan.

Namun hari ini, aku menangis.
Aku menyaksikan tubuhku dipenuhi luka. Gunungku diledakkan, lautku dicemari, udaraku penuh racun. Bukan karena alamku memberontak, tapi karena kau, manusia, yang memilih jalan kehancuran.

Aku ingin bertanya padamu:
Mengapa kau tega memperlakukan rumahmu sendiri seperti musuh?
Mengapa kau memerangi sesamamu di tanah yang kau tinggali bersama?
Apakah kekuasaan, tanah, dan emas lebih berharga daripada hidup damai berdampingan?


Perang Bukan Hanya Membunuh Manusia, Tapi Juga Alam

Setiap roket yang diluncurkan bukan hanya mengoyak tubuh manusia, tapi juga membakar tanah yang kuhamparkan untukmu. Setiap bom yang dijatuhkan tidak hanya mematikan nyawa, tapi juga memutus daur kehidupan yang kususun rapi ribuan tahun lamanya.

Kau ribut soal ekonomi, tapi perangmu meruntuhkan pasar, menghilangkan ladang, menghancurkan sumber daya.
Kau bicara tentang masa depan, tapi perangmu membuat anak-anak kehilangan sekolah, rumah, dan rasa aman.
Kau menyebut dirimu beradab, tapi senjatamu lebih cepat bicara daripada akal sehatmu sendiri.

Islam Mengajarkan Damai, Bukan Perang
Bumi ini adalah amanah dari Sang Pencipta. Dalam Al-Qur’an, Allah tidak pernah memerintahkan manusia untuk saling menghancurkan. Islam datang membawa kedamaian, bukan kerusakan. Rasulullah SAW pun berdiri sebagai simbol kasih sayang, bukan kebengisan.

 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56

Dalam ayat ini, jelas bahwa manusia bukan pembuat kerusakan, tetapi penjaga perbaikan. Maka setiap tindakan yang menghancurkan bumi—baik melalui perang, ketamakan, atau kebencian—adalah pengkhianatan terhadap peran manusia itu sendiri.


Ahmadiyya dan Seruan Damai


Di tengah kekacauan ini, ada suara yang terus menggaung, meski kadang tidak didengar. Komunitas Ahmadiyya selama lebih dari seabad menyerukan damai, tanpa senjata, tanpa kekerasan. Mereka percaya bahwa jihad di zaman ini adalah jihad melalui pena, melalui pendidikan, dan melalui kasih sayang.

Pemimpin spiritual mereka berkata, “Jika kita ingin masa depan yang damai, maka kita harus menghapuskan kebencian dari dalam hati manusia.” Sebuah pesan sederhana, tapi dalam. Karena sebelum dunia berubah, hati manusialah yang harus disucikan terlebih dahulu.

Kembalilah Menjadi Tamu yang Beradab

Jika bumi ini bisa bicara, ia akan berkata:
"Kau hanya menumpang di sini. Tapi sayangnya, kau lupa cara bersyukur."

Kau merusak lebih cepat dari aku bisa memulihkan.
Kau membunuh lebih banyak dari aku bisa melahirkan.
Kau menebar api, lalu berharap aku tetap hijau dan damai.

Namun belum terlambat. Selama kau masih hidup, masih bisa mendengar, dan masih mau berpikir, kau bisa berubah. Berhentilah menganggap kekuatan adalah milik senjata. Kekuatan sejati adalah kemampuan untuk menahan amarah, memaafkan, dan menciptakan perdamaian.

Penutup: Bumi Tidak Butuh Banyak, Hanya Manusia yang Sadar

Aku, bumi, tidak butuh pujian. Aku hanya ingin kau hidup dengan cara yang layak: damai, adil, dan penuh tanggung jawab.

Karena jika kau tetap menghancurkanku, aku tidak akan bertahan lama. Dan saat aku benar-benar hancur, bukan aku yang binasa terlebih dahulu. Tapi kamu.

Wahai manusia,
Kau hidup bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menjaga. Bumi ini bukan milik satu bangsa, satu golongan, atau satu kekuasaan. Ia adalah amanah untuk seluruh umat manusia.

Jangan jadikan tanah ini ladang permusuhan.
Jangan jadikan langit ini ruang bagi kebencian.
Jangan jadikan sungai dan lautan sebagai tempat pelarian amarah.

Berhentilah menyebar kerusakan, baik dengan senjata, kata-kata penuh kebencian, atau keputusan yang mengorbankan kehidupan demi keuntungan sesaat.

Hari ini, engkau masih bisa memilih.
Pilihlah jalan damai, pilihlah jalan kasih sayang, pilihlah menjadi penjaga bumi—bukan penghancur peradaban.

Karena bumi ini hanya satu. Dan jika engkau menghancurkannya, takkan ada tempat lain untuk berlindung.

Komentar