Ahmadiyah Adalah Islam: Menjawab Salah Paham soal Khataman Nabiyyin


"Foto realistis seorang pria duduk santai memegang Al-Qur’an terbuka, wajah asli, latar ungu pastel dengan bokeh lembut, kaligrafi Arab bertuliskan 'Allah', suasana damai dan inspiratif, relevan dengan Ahmadiyah Islam, tafsir Khataman Nabiyyin, ajaran Qur’an"

Perdebatan mengenai posisi Nabi Muhammad ﷺ sebagai khataman nabiyyin (QS. Al-Ahzab: 40) telah menjadi salah satu isu paling sensitif dalam wacana keislaman modern. Mayoritas umat Islam memahami khataman nabiyyin sebagai penutup para nabi dalam arti mutlak, sehingga tidak ada lagi nabi setelah beliau. Namun, Ahmadiyah memahami ayat ini dalam makna penutup yang paling sempurna, teladan, pemegang otoritas tertinggi, penyempurna atau puncak kemuliaan, dan bukan sekadar penutup urutan waktu (kronologis).

Sayangnya, perbedaan tafsir ini sering membuat Ahmadiyah dicap sesat, bahkan dianggap keluar dari Islam. Padahal, jika kita kaji secara mendalam, mereka tetap berada dalam poros Islam. Artikel ini mencoba menjelaskan secara sederhana namun mendalam, agar masyarakat bisa memahami bahwa perbedaan tafsir tidak serta-merta berarti penyimpangan aqidah.

Apa Arti “Khatam” dalam Bahasa Arab?

Kata خاتَم (khatam) atau خاتِم (khatim) berasal dari akar kata خ ت م (khatama) yang secara bahasa berarti:
  • menutup,
  • menyelesaikan
  • mencapai akhir
  • dan juga berarti cincin atau cap pengesah (seal)
1. Contoh dalam Al-Qur’an:
  • “Khatamallahu ‘ala qulubihim” (QS. Al-Baqarah: 7) → Allah menutup hati mereka.  → Maknanya jelas: hati itu tertutup rapat, tidak bisa ditembus lagi.
  • “Khataman nabiyyin” (QS. Al-Ahzab: 40) → diterjemahkan sebagai penutup para nabi.→ Bisa dimaknai yang terakhir, atau cap/pengesah yang memberikan legitimasi.
2. Dalam bahasa Arab klasik : 
  • Ibn Manzhūr dalam Lisān al-‘Arab (kata خَتَمَ): الخَتْمُ: الطبعُ على الشيء، والخاتَمُ ما يُختم به. → Al-khatmu adalah memberi cap pada sesuatu, dan al-khātam adalah alat (cincin) yang digunakan untuk memberi cap.
  • Rāghib al-Aṣfahānī (al-Mufradāt, kata خَتَمَ): الخَتْمُ: فراغ الشيء من عمله، والخاتَمُ: الطابع الذي يُستعمل للإحكام والتصديق. Al-khatmu berarti menyelesaikan sesuatu dari pekerjaannya, dan al-khātam adalah cap yang digunakan untuk mengesahkan dan menguatkan.
ketika dalam tradisi Arab disebut خاتَم الملك (khatam al-malik) = Cincin/Cap raja, maksudnya bukan “raja terakhir,” melainkan cap pengesahan raja yang membuat suatu dokumen dianggap sah.
  • Khatam digunakan untuk cincin/cap raja. Cap itu bukan berarti “yang terakhir”, melainkan simbol pengesahan dan kemuliaan tertinggi.
  • Misalnya, surat kerajaan baru dianggap sah jika ada cap/khatam raja.
Dari sinilah muncul perbedaan tafsir,

Mayoritas ulama: khatam bermakna penutup secara kronologis, tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ.

Sedangkan Ahmadiyah: khatam bermakna pemegang otoritas tertinggi, pengesah, dan puncak kesempurnaan nubuwah.


Tafsir yang Berbeda, Aqidah Tetap pada Poros Islam

Ahmadiyah tetap mengimani bahwa:
  • Al-Qur’an adalah kitab terakhir,
  • Nabi Muhammad ﷺ adalah nabi utama,
  • kiblat mereka tetap ke Ka’bah,
  • shalat mereka sama dengan umat Islam lain,
  • syahadat mereka pun sama.
Dari sisi poros aqidah, jelas mereka berada dalam lingkup Islam. Yang membedakan hanyalah tafsir tentang khataman nabiyyin.

Dalam sejarah Islam sendiri, tafsir ayat-ayat Al-Qur’an sering menimbulkan ihtilaf (perbedaan pandangan). 
Misalnya :
  • Soal ayat mutasyabihat (tangan Allah, wajah Allah) → ulama berbeda antara makna hakiki dan majazi.
  • Soal qadha dan qadar → sebagian memahami sebagai takdir mutlak, sebagian lain memberi ruang ikhtiar manusia.
  • Soal sifat Nabi dan kedudukan para wali → ada yang memandang secara spiritual, ada yang tekstual.
Namun perbedaan itu tidak serta-merta membuat seseorang keluar dari Islam, selama ia masih berpegang pada rukun iman dan rukun Islam. Karena itu, wajar jika tafsir khataman nabiyyin juga menimbulkan ikhtilaf.

Apakah Perbedaan Tafsir Bisa Disebut Penyimpangan Aqidah?

Jika dinilai dari kacamata mayoritas, tentu tafsir Ahmadiyah dianggap menyimpang karena tidak sesuai dengan makna penutup nabi yang mutlak. Tetapi jika ditarik ke akar epistemologi Islam, “menyimpang” tidak bisa hanya karena tafsir berbeda.

Para ulama klasik membedakan antara:
  • Ikhtilaf muktabar (diakui): perbedaan lahir dari metode ijtihad, kajian bahasa, dan dalil yang masih dalam batas syar’i.
  • Ikhtilaf ghair muktabar (tidak diakui): perbedaan lahir dari hawa nafsu, tanpa dalil, atau menolak prinsip dasar Islam.
Ahmadiyah berdiri pada basis tafsir Al-Qur’an, hadis, dan argumentasi rasional. Walaupun mayoritas tidak setuju, mereka tetap menafsirkan dari sumber Islam itu sendiri, bukan dari luar.

Perbedaan Tidak Sama dengan Murtad

Kalau kita mengatakan Ahmadiyah menyimpang mutlak, maka logikanya kita harus siap mengkafirkan mereka. Tetapi kenyataannya, mereka bersyahadat, shalat, puasa, zakat, haji, mengimani Qur’an, dan mencintai Nabi Muhammad ﷺ.

Sulit menolak fakta bahwa mereka tetap Muslim. Sebagian besar kemarahan masyarakat muncul bukan karena benar-benar membaca tafsir Ahmadiyah, tetapi karena stigma, fatwa, dan narasi politik. Padahal, umat Islam berbeda paham di banyak bidang, dan itu tidak otomatis mengeluarkan mereka dari Islam.

Ihtilaf Bukan Alasan untuk Persekusi

Jika Ahmadiyah berbeda dalam tafsir khataman nabiyyin, seharusnya itu masuk kategori perbedaan tafsir, bukan perbedaan aqidah yang mengeluarkan dari Islam. Kita boleh menolak tafsir mereka, tapi tidak boleh mengusir mereka dari Islam, apalagi sampai melakukan persekusi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad)

Sekilas hadis ini tampak keras. Namun ulama besar seperti Ibnu Taymiyyah dan al-Syathibi menjelaskan bahwa maksud “semuanya di neraka” bukan berarti kafir, tetapi terkena ancaman karena kesalahan. Selama masih berpegang pada syahadat, shalat, dan Qur’an, mereka tetap Muslim.

Dengan pemahaman ini, Ahmadiyah tetap bagian dari umat Islam, walaupun berada pada tafsir yang berbeda.

Kenapa Masyarakat Mudah Marah?

Kemarahan mayoritas bukan karena membaca langsung tafsir Ahmadiyah, melainkan karena stigma, fatwa, dan narasi politik. Label “sesat” sering ditempelkan tanpa kajian akademik.

Padahal, Islam sendiri mengajarkan agar kita berdiskusi dengan hikmah:

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Perbedaan tafsir seharusnya jadi bahan kajian, bukan alasan persekusi.

Ihtilaf Bukan Alasan Mengeluarkan Ahmadiyya dari Islam

Kalau setiap tafsir yang berbeda dianggap murtad, maka hampir semua mazhab dalam Islam bisa saling menyesatkan. Faktanya, umat Islam tetap menghormati perbedaan fiqih, tafsir, dan aqidah sepanjang masih bersyahadat dan beribadah kepada Allah.

Ahmadiyah pun demikian. Mereka berbeda dalam menafsirkan khataman nabiyyin, tetapi tetap menjalankan seluruh rukun Islam. Itu cukup menjadi alasan bahwa mereka masih dalam lingkaran Islam.

Perbedaan tafsir memang tidak bisa dihindari. Namun perbedaan bukan alasan untuk mengeluarkan satu kelompok dari Islam. Ahmadiyah adalah contoh nyata bahwa tafsir bisa berbeda, tetapi poros aqidah tetap sama.

Mengusir atau memusuhi hanya akan memperdalam luka dalam tubuh umat. Sebaliknya, membuka ruang dialog akan memperkaya khazanah Islam.

Ahmadiyah adalah Islam: mereka bersyahadat, shalat, puasa, zakat, haji, berpegang pada Qur’an, dan mencintai Nabi Muhammad ﷺ. Perbedaan tafsir khataman nabiyyin harus ditempatkan sebagai ikhtilaf, bukan alasan untuk menuduh sesat.

Maka, persoalan ini sebaiknya ditempatkan pada ranah ihtilaf, ilmiah dan akademik, bukan ranah kebencian dan kekerasan apalagi menuduh sesat atau bukan bagian dari Islam.

Komentar