Dialog Socrates dan Islam: Seni Bertanya, Seni Berpikir Kritis

Penulis Abd Rahman Ak

"Socrates berdiri di tepi bukit Athena kuno saat malam, menatap langit penuh bintang. Di antara bintang terlihat cahaya yang membentuk lafadz Allah dengan kaligrafi indah bercahaya emas. Suasana hening, penuh makna, Socrates mencari kebenaran hakiki

Pernahkah kita sadar, bahwa hidup sering kali berjalan otomatis? Kita percaya begitu saja pada berita, gosip, bahkan keyakinan tanpa sempat bertanya ulang: benarkah ini? Nah, jauh sebelum era internet, Socrates sudah mencontohkan bahwa bertanya itu sebuah seni. Ia tidak memberi jawaban instan, tapi mengajarkan cara meragukan keyakinan semu agar lahir kebenaran yang lebih jernih.

Apakah kita masih berani bertanya, atau hanya ikut arus jawaban cepat zaman modern?

Socrates dan Seni Meragukan

Socrates dikenal dengan dialog Socratic, metode mengajukan pertanyaan berlapis. Kalau ada yang bilang: “Keadilan adalah memberi hak setiap orang,” ia akan balik bertanya: Apa itu hak? Adil untuk siapa? Bagaimana kalau merugikan yang lain?

Dari situ, kita sadar bahwa definisi cepat sering rapuh. Metode ini disebut elenchus, atau seni dialektika. Bukan sekadar membantah, tapi mengupas lapis demi lapis hingga kita menemukan inti.

Bukankah kita sering terjebak pada definisi dangkal tanpa sempat menguji kebenarannya?

Islam dan Tradisi Bertanya

Menariknya, Islam sangat menekankan pentingnya berpikir kritis. Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam memberi contoh langsung. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

“Maka ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inikah Tuhanku?’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’ Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: ‘Inikah Tuhanku?’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’ Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inikah Tuhanku? Ini yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.’” (QS. Al-An‘am: 76–79)

Menurut tafsir para ulama (seperti Ibnu Katsir), ayat ini bukan berarti Nabi Ibrahim ragu kepada Allah. Justru beliau sedang berdialog dengan kaumnya yang menyembah benda langit (bintang, bulan, matahari). Nabi Ibrahim menggunakan logika sederhana: sesuatu yang terbit lalu tenggelam tidak pantas jadi Tuhan. Dengan cara ini, beliau mendidik kaumnya untuk berpikir kritis dan meninggalkan penyembahan berhala.

Kalau Nabi saja mencontohkan bertanya untuk mencari kebenaran, apakah kita mau berhenti berpikir hanya karena “katanya orang”?

Baca juga : Hidup Bukan Tentang Bebas dari Derita, Tapi Menemukan Makna di Dalamnya: Belajar dari Viktor Frankl dalam Buku Man's Search For Meaning

Tabayyun dalam Al-Qur’an

Allah menegaskan dengan sangat jelas tentang pentingnya klarifikasi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang akhirnya menjadikan kalian menyesal atas perbuatan itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini adalah golden rule berpikir kritis dalam Islam. Jangan asal percaya, jangan asal sebarkan. Karena salah langkah, akibatnya bisa fatal: fitnah, hancurnya nama baik, bahkan rusaknya masyarakat.

Berapa banyak masalah di medsos hari ini yang lahir karena kita gagal tabayyun?

Socrates dan Islam Bertemu

Metode Socrates mengajak kita menelisik: benarkah definisimu?. 

Islam mengajak kita menelisik: benarkah beritamu?. 

Dua-duanya berpangkal pada keberanian untuk tidak asal terima.

kalau dua pendekatan ini kita padukan—bertanya seperti Socrates, dan tabayyun seperti Al-Qur’an. Bukankah itu kombinasi yang ampuh menghadapi banjir informasi hari ini?

Relevansi di Era Digital

Sekarang, di zaman medsos, opini viral, dan clickbait di mana-mana, sikap kritis bukan pilihan tapi kebutuhan. Kita gampang terkecoh oleh judul heboh, padahal isinya menyesatkan. Kita sering membela mati-matian pendapat, padahal dasarnya rapuh.

Apakah kita mau jadi generasi “asal share” atau generasi yang berhenti sejenak, bertanya, lalu mencari kebenaran?

Menjadikan Bertanya Sebagai Jalan Hidup

Bertanya bukan tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian. Socrates mati karena dianggap meresahkan dengan pertanyaannya, tapi warisannya abadi. Nabi Ibrahim dihormati karena berani mencari kebenaran lewat bertanya. Dan Al-Qur’an menegaskan tabayyun sebagai gaya hidup mukmin sejati.

Kalau kita berhenti bertanya, bukankah kita berhenti belajar?

Kebijaksanaan bukan soal tahu semua jawaban, tapi sadar bahwa kita bisa salah, lalu terus mencari. Mari kita hidup dengan kerendahan hati untuk bertanya, berani tabayyun, dan jujur mencari kebenaran. Inilah jalan yang membuat iman makin kokoh, bukan rapuh.

Mungkin kebenaran bukan datang dari jawaban instan, tapi dari keberanian kita bertanya dan mencari bersama.

Baca juga : Pendidikan yang Hilang Arah: Pancasila Sekadar Tempelan di Dinding bagi Generasi Emas 2045

Komentar