Hidup Bukan Tentang Bebas dari Derita, Tapi Menemukan Makna di Dalamnya: Belajar dari Viktor Frankl dalam Buku Man's Search For Meaning

Pasti kita pernah merasa capek dengan hidup, seakan semua usaha nggak ada hasilnya? Di era digital sekarang, kita sering dikejar target: uang, karier, gaya hidup. Tapi kalau semua itu kita capai, kenapa masih sering terasa kosong dan hampa? Kok hidup gini-gini aja sih ? Inilah pertanyaan penting yang coba dijawab Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning.

Buku ini bukan sekadar teori motivasi, tapi lahir dari penderitaan nyata di kamp konsentrasi Nazi. Frankl menunjukkan bahwa manusia bisa bertahan bukan karena kekuatan fisik semata, tapi karena punya makna hidup.

Derita Itu Pasti, Tapi Respon Kita yang Menentukan

Hidup nggak pernah terbebas dari masalah. Entah itu gagal usaha, sakit, kehilangan orang tercinta, atau krisis ekonomi. Lantas, pakah penderitaan berarti hidup kita hancur?

Frankl bilang: “Seseorang bisa mengambil semua dari kita, kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia — memilih sikap respon dalam kondisi apa pun.”

Artinya, meskipun kita nggak bisa mengontrol semua hal, kita bisa mengontrol respon kita.

Inilah dasar logoterapi: mengubah penderitaan menjadi makna.

Apa Itu Logoterapi?

Biar nggak bingung, mari kita sederhanakan. Logoterapi adalah psikoterapi yang berfokus pada meaning of life — makna hidup. Bukan sekadar menghilangkan sakit hati, tapi menemukan “kenapa” kita harus bertahan.

Frankl percaya, manusia bisa menghadapi “bagaimana” hidup yang sulit, jika punya “kenapa” yang jelas. Inilah yang membedakan orang yang menyerah dengan yang tetap bertahan bahkan dalam situasi paling buruk.

Tiga Jalan Menemukan Makna Hidup

Kalau gitu, gimana cara kita menemukan makna hidup? Frankl kasih tiga jalur:

1. Makna Melalui Karya dan Pencapaian

Pernah merasa hidup jadi berarti saat kita menciptakan sesuatu?

Entah itu menulis, bekerja, berbisnis, atau sekadar membantu orang lain — setiap karya memberi kita jejak eksistensi. Inilah alasan kenapa bekerja dengan passion bisa bikin kita lebih bahagia.

2. Makna Melalui Cinta dan Relasi

Kenapa orang rela berkorban demi keluarga? Karena cinta adalah sumber makna yang paling dalam. Cinta memberi alasan untuk terus hidup meski dunia terasa runtuh.

3. Makna Melalui Cara Menghadapi Penderitaan

Apakah sakit dan derita hanya kutukan? Tidak. Kadang penderitaan justru ruang bagi kita menemukan kedalaman diri, kesabaran, dan spiritualitas yang nggak bisa didapat dari kenyamanan.

Baca Juga : Belajar dari Pengalaman: Hakikat Jodoh Antara Takdir, Usaha, dan Doa

Hubungan Makna Hidup dengan Era Digital

Nah, sekarang coba kita tarik ke kehidupan modern. Di era globalisasi dan digital ini, banyak orang terjebak dalam “dopamine economy” — ngejar likes, views, atau validasi instan. Kenapa banyak influencer kaya tapi tetap merasa kosong?

Karena makna hidup nggak bisa diganti dengan angka. Data mungkin penting, tapi jiwa kita tetap butuh arah. Logoterapi relevan banget di era digital: bukan berapa followers kita, tapi apa arti yang kita berikan untuk orang lain.

Makna Hidup dan Kesehatan Mental

kenapa banyak orang sukses secara materi tapi stres dan depresi? Karena mereka kehilangan makna. Frankl menunjukkan, orang yang punya makna lebih kuat secara psikologis. Mereka lebih tahan menghadapi trauma, kehilangan, bahkan kematian.

Penelitian modern juga mendukung: orang yang merasa hidupnya bermakna cenderung punya kesehatan mental lebih baik, daya tahan stres lebih tinggi, dan lebih bahagia jangka panjang.

Spiritualitas: Islam dan Makna Hidup

Mari kita hubungkan dengan Islam. Apakah Islam juga bicara soal makna hidup? Jawabannya: iya.

Al-Qur’an menegaskan:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Artinya, tujuan utama hidup adalah pengabdian kepada Allah. Tapi pengabdian itu bukan hanya ritual, melainkan juga dalam bentuk kerja keras, memberi manfaat, dan menolong sesama.

Islam dan logoterapi ketemu di titik yang sama — hidup berarti ketika kita punya tujuan di luar diri sendiri.

Pola Pikir yang Harus Kita Bangun

Kalau kita ingin benar-benar hidup bermakna, kita bisa mulai dengan pola pikir ini:

  1. Terima bahwa penderitaan bagian dari hidup. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi.
  2. Cari makna dalam setiap peristiwa. Tanyakan: apa pelajaran yang bisa kita ambil?
  3. Hidup bukan cuma untuk diri sendiri. Karya, cinta, dan kontribusi untuk orang lain adalah sumber makna yang abadi.
Bukankah lebih indah jika jejak kita di dunia adalah manfaat, bukan sekadar harta?

Hidup yang Penuh Makna

Frankl pernah berkata: “Those who have a ‘why’ to live, can bear with almost any ‘how’.”(Mereka yang memiliki ‘alasan mengapa’ untuk hidup, dapat menanggung hampir segala macam ‘bagaimana’).

Kita juga bisa belajar hal yang sama: hidup ini memang penuh ujian, tapi bukan ujian yang bikin kita hancur — melainkan kehilangan makna.

Jadi, mari kita berhenti bertanya “kenapa aku menderita?”, tapi mulai bertanya: “untuk apa aku bertahan?”

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang bebas dari derita, tapi bagaimana kita menemukan makna di dalamnya.

Baca juga : Cara Menghasilkan Uang Sejak Dini: Latih Anak dengan Kemampuan Digital"


Komentar